Senin, 02 Mei 2011

Konser Tunggal Sarasvati

14 April 2011, Dago Tea House, Bandung.

 Megah! adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan konser tunggal Sarasvati yang bertajuk Mancawarna Sarasvati di Dago Tea House Bandung pada Kamis malam (14/4) lalu.

 

Oleh : Nicolas Smart Vescera

image
Megah! adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan konser tunggal Sarasvati yang bertajuk Mancawarna Sarasvati di Dago Tea House Bandung pada Kamis malam (14/4) lalu.

Mancawarna memiliki arti ribuan warna musik yang beragam dan mewakili unsur-unsur yang telah memberikan pengaruh dalam warna musik Sarasvati. Inilah yang menjadikan konser ini seperti melihat pertunjukan seni lintas disiplin.

Bagi saya pribadi, melihat proses berkesenian saat ini memang tak bisa dilihat dari satu pengaruh semata, ketika kita hidup di zaman global sekarang ini, pelbagai pengaruh-pengaruh baik dari lingkungan ataupun informasi menjadi sesuatu yang tak bisa dipungkiri lagi.
 

Dan semua pengaruh itu tampak di atas panggung. Perayaan besar dan megah dengan menggabungkan elemen tradisonil Sunda hingga orkestrasi yang megah membuktikan pengaruh musikalnya Sarasvati yang teramat luas.Itu adalah pengalaman estetis seorang Risa Saraswati atau Sarasvati. Selepas dari Homogenic, Risa Saraswati membentuk Sarasvati dan telah mengeluarkan mini album Story of Peter (2010).

Mayoritas lirik-lirik lagunya menceritakan pengalaman “dunia lain” yang dilihat Risa selama ini. Risa memang dikenal memiliki indera keenam yang mampu melihat melebihi batas manusiawi, dan pengalaman perjalanan ke dimensi dunia lain tersebut membentuk karakter musiknya yang gelap dan kelam. Hal itulah yang bisa kita tarik dalam konser Sarasvati.

Dengan tatanan yang menampilkan setting kegelapan dan kematian, Sarasvati adalah figur paling tepat untuk membicarakan semua itu. Ornamen-ornamen kematian, kuburan, hingga aktor-aktor yang dhias sebagai mayat hidup adalah beberapa elemen dari konser Sarasvati ini.

Dan suatu ketika, saya terkejut ketika Risa menyanyikan lagu “Melati Suci” gubahan Guruh Soekarno Putra. “Lagu ini sangat penuh kenangan dan membuat saya mencintai Tanah Air. Mari kita mencintai seni budaya Indonesia itu sendiri,” ajakan Risa Saraswati.

Hal ini membuat saya sedikit terkejut mengingat seorang Risa yang dengan piawai menggubah lagu itu sedemikian jeniusnya dilengkapi dua orang penari menemani Risa. Pengaruh musik itu tak hanya datang dari musik Barat atau musik Sunda, namun musik-musik pop legendaris Indonesia dan lagu-lagu perjuangan mengalir dalam nadi Sarasvati.

Totalitas itu yang kemudian dimunculkan dalam lagu “Gugur Bunga”. Risa mengajak kolaborasi bersama Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca) dan menghadirkan lagu yang hanya selalu saya dengar ketika dalam upacara-upacara serius itu terdengar begitu sangat mengheningkan.

Adapula lagu yang menurut Risa merupakan lagu paling menyeramkan. “Lagu ini paling horor, banyak yang mention saya di Twitter dan menceritakan betapa horor-nya lagu ini. ‘Teh, kenapa yah tiap dengerin lagu ini tiba-tiba komputer saya mati sendiri’ atau ‘Teh kenapa yah tiap dengerin lagu ini tiba-tiba jendela nutup sendiri’,” tutur Risa.

Tak lama kemudian, mengalunlah lagu “Bilur” yang menjadi kian mencekam dengan lengkingan sinden Ida Widawati. Lagu ini bercerita tentang kondisi tragis seorang sinden yang meninggal. Karakter vokal Risa sendiri memang digembleng dari latar belakang kesindenan yang membuatnya selalu memiliki ketertarikan terhadap warna musik tradisionil sinden ini.

Salah satu yang paling menarik adalah ketika Risa menyanyikan lagu Chrisye “Kala Sang Surya Tenggelam” dengan menambahkan ornamen taishogoto, sebuah alat musik semacam kecapi asal Jepang. Efek alat musik itu menghasilkan bunyi semacam desis berulang-ulang. Sungguh menarik!

Pada beberapa lagu lainnya, paling menarik adalah ketika Risa berkolaborasi bersama Viki (Burgerkill) menyanyikan lagu “Tiga Titik Hitam”. Aslinya lagu milik Burgerkill ini dibawakan bersama Fadly (Padi). Namun, Risa tak kalah jenius menyanyikan lagu ini menjadi lebih kelam.Lagi-lagi ini yang membuat Sarasvati kaya warna. Musiknya melebar bahkan sanggup membaurkan elemen-elemen musik metal.

Satu lagu paling menarik lainnya yaitu sebuah lagu “Gloomy Sunday”� gubahan komposer Hungaria Rezső Seress. Sejumlah musisi hebat lainnya pun kerapkali meng-cover lagu ini mulai dari Bjork, Emily Autumn, Sarah McLachlan dan Billie Holiday. Lagu ini adalah lagu legendaris yang konon memiliki efek persuasif untuk membunuh dirinya sendiri. Saking legendarisnya lagu ini.sampai-sampai dibuatkan film oleh Rolf Sch�bel dengan judul yang sama.

Penampilan konser megah itu ditutup dengan lagu “Story of Peter”. Tiba-tiba saja dari kalangan penonton muncul aktor-aktor yang dihias sebagai mayat hidup yang kemudian merapat maju ke depan, dan menari-nari mengiringi lagu “Story of Peter”.  Wow..! sungguh teatrikal dan menarik!

  Acara megah itu adalah percampuran antara pelbagai elemen, seperti halnya filosofis Mancawarna. Kemudian perayaan-perayaan akan multi disiplin inilah yang membaurkan nafas musik khas Sunda, dengan musik elektronik, kemudian dengan perayaan kenangan musik pop legendaris Indonesia dan lagu-lagu nasionalis dari musik perjuangan Indonesia.

Konser
Mancawarna Sarasvati ini terkadang seperti membaurkan “barat” dan “timur” atau “baru” dan “lama” menjadi satu ekspresi tersendiri.Dan ini menjadi konser perayaan ekspresi seni yang membentuk Sarasvati. Sangat kaya warna!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar